PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Biografis Immanuel Kant
1. Biografis
kehidupan Immanuel Kant
Immanuel
Kant adalah seorang filsuf besar yang pernah tampil dalam pentas pemikiran
filosofis zaman Aufklarung jerman menjelang abad ke-18. Ia lahir pada tanggal
22 April 1724 di Königsberg, Prusia Timur, Jerman[1]
Kant lahir sebagai anak keempat dari suatu keluarga miskin. Keluarganya
menganut kristiani yang saleh. Orang tua Kant adalah pembuat pelana kuda dan
penganut setia gerakan Peitisme. Pada usia 8 tahun Kant memulai
pendidikan formalnya di Collegium Fridericianum, sekolah yang
berlandaskan semangat Peitisme.
Pada tahun
1740 Kant meninggalkan gymnasium dan melanjutkan studinya tentang teologi di
Universits Königsberg saat usianya 16 tahun. Namun perhatiannya justru tercurah
pada filsafat, ilmu pasti dan fisika. Karena tidak mampu membiayai studinya,
Kant memperoleh uang studinya dari beasiswa. Setelah selesai ia menjadi guru
privat.
Sejak kecil
ia tidak meninggalkan desanya, kecuali hanya selama beberapa waktu singkat
untuk mengajar di desa tetangganya. Kemudian pada tahun 1755, ia kembali ke
Universitas Königsberg menjadi dosen.
Karya dapat dibagi menjadi dua bagian, bagian
prakritis dan tahap kritis. Kant menulis tentang berbagai masalah dari bidang
ilmu alam, ilmu pasti, dan filsafat[2].
Kemudian, selama 11 tahun tak ada tulisan Kant apapun. Itulah saat
pemikiran Kant berubah. Menurut Kant sendiri Hume-lah yang menjadikan ia
bangun dari tidurnya dalam dogmatism. Hume berpendapat bahwa empiris adalah
sebuah pengetahuan yang tak lebih dari kesan-kesan inderawi saja, namun Kant
menentangnya. kira-kira tahun 1770 sebagai garis perbatasannya, yaitu ketika ia
menerima jabatan Guru Besar Logika dan Metafisika di Königsberg. Sejak itu ia
menyodorkan filsafatnya kepada dunia dengan penuh kepastian, sedang sebelumnya
masih terdapat perubahan-perubahan dalam tulisan tulisannya. Immanuel Kant
meninggal menjelang usia 80 tahun pada 12 Februari 1804 di Königsberg.
2. Karya Immanuel Kant
Dari
pemikiran-pemikirannya tersebut, Kant menghasilkan beberapa karya buku-buku
yang cukup fenomenal, antara lain:
1. Kritik atas Rasio
Murni (1781)
(Jerm.: “Kritik der Reinen
Vernunft”, Ingg.: “Critique of Pure Reason”)
Dalam kritik
ini, atara lain Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum,
mutlak dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan
adanya tiga macam putusan, yaitu:
a. Putusan
analitis a priori; dimana predikat tidak menambah sesuatu yang baru
pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati
ruang).
b. Putusan
sintesis a posteriori, misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini
predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena
dinyatakan setelah (post, bhs latin) mempunyai pengalaman dengan aneka
ragam meja yang pernah diketahui.
c. Putusan
sintesis a priori; disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan
yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat apriori juga.
Misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan
ini berlaku umum dan mutlak, namun putusan ini juga bersifat sintetis
dan aposteriori. Sebab di dalam pengertian “sebab”. Maka di sini baik
akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika dan
ilmu pengetahuan alam disusun atas putusan sintetis yang bersifat apriori ini.
Pada taraf indra, ia berpendapat
bahwa dalam pengetahuan indrawi selalu ada dua bentuk a priori yaitu
ruang dan waktu.
2. Kritik atas Rasio
Praktis (1788)
(Jerm.: “Kritik der Practischen
Vernunft”, Ingg.: “Critique of Practical Reason”)
Maxime (aturan
pokok) adalah pedoman subyektif bagi perbuatan orang perseorangan (individu),
sedangkan imperative (perintah) merupakan azas kesadaran obyektif
yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan. Imperatif berlaku umum dan
niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan bersyarat (hypothetical)
atau dapat juga tanpa syarat (categorical). Imperatif
kategorik tidak mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan formal (solen). Menurut
Kant, perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber pada kewajiban dengan
penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan sikap hormat (achtung).
Sikap inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.
Pada
Akhirnya Kant ingin menunjukkan bahwa kenyataan adanya kesadaran susila
mengandung adanya praanggapan dasar. Praanggapan dasar ini oleh Kant disebut
“postulat rasio praktis”, yaitu kebebasan kehendak, immortalitas jiwa, dan
adanya Tuhan.
Pemikiran etika ini, menjadikan Kant
dikenal sebagai pelopor lahirnya apa yang disebut dengan “argumen moral”
tentang adanya Tuhan. Sebenarnya, Tuhan dimaksudkan sebagai postulat. Sama
dengan pada rasio murni, dengan Tuhan, rasio praktis ‘bekerja’ melahirkan
perbuatan susila.
3. Kritik atas Daya
Pertimbangan (1790)
(Jerm.: “Kritik der Arteilskraft”,
Ingg.: “Critique of Judgement”)
Kritik atas
daya pertimbangan, dimaksudkan oleh Kant adalah mengerti persesuaian kedua
kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan).
Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bersifat
subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah yang
terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat
objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.
Buku ini tentang persesuaian antara
keperluan bidang duniawi (alam) dengan tingkah laku manusia,. Dengan
menggunakan konsep finalitas (tujuan). Menjelaskan ulang secara lengkap tentang
buku pertama dan kedua Finalitas dapat bersifat subjektif dan objektif. Kalau
finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia itu
sendiri. Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu
sama lain dari benda-benda.
B. Latar Belakang Pemikiran
Immanuel Kant
Pemikiran
Kant mengalami empat periode perkembangan, yaitu:
- Periode
pertama ialah ketika ia masih dipengaruhi oleh Leibniz-Wolf, yaitu sampai tahun
1760. Periode ini sering disebut periode rasionalistik.
-
Periode
kedua berlangsung antara tahun 1760–1770, yang ditandai dengan semangat
skeptisisme. Periode ini sering disebut periode empiristik karena dominasi
pemikiran empirisme Hume. Karyanya yang muncul dalam periode ini adalah Dream
of a Spirit Seer.
- Periode
ketiga dimulai dari inaugural disertasinya pada tahun 1770. Periode ini
bisa dikenal sebagai periode kritis. Karyanya yang muncul dalam periode ini
diantaranya: The Critique of Pure Reason (1781), Prolegomena to any
Future Methaphysics (1787), Metaphysical Foundation of Rational Science (1786),
Critique of Practical Reason (1788), Critique of Judgment (1790). Menurut Schopenhauer Karya Immanuel Kant
Tentang Kritik der reinen Vernunft ( Kritik terhadap Akal Budi Murni
merupakan buku terpenting yang pernah ditulis di Eropa [3].
- Periode
keempat berlangsung antara tahun 1790 sampai tahun 1804. Pada periode ini Kant
mengalihkan perhatiannya pada masalah religi dan problem-problem sosial. Karya
Kant yang terpenting pada periode keempat adalah Religion within the
Limits of Pure Reason (1794) dan sebuah kumpulan essei berjudul Eternal
Peace (1795).
Pada awalnya Immanuel Kant memandang rasionalisme dan empirisme senantiasa
berat sebelah dalam menilai akal dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan.
Rasionalisme berpendirian bahwa rasio merupakan sumber pengenalan atau
pengetahuan. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas
pada diri subyeknya, lepas dari pengalaman. Sedangkan empirisme berpendirian
bahwa pengalaman menjadi sumber pengetahuan. Empirisme mengira telah memperoleh
pengetahuan dari pengalaman saja [4].
Menurut Kant, pengenalan manusia merupakan sintesis antara unsur-unsur a
priori dan unsur-unsur a posteriori, yaitu unsur rasio/akal dan juga
unsur inderawi/pengalaman. Menurutnya akal murni itu terbatas, menghasilkan
pengetahuan tanpa dasar inderawi atau independen dari alat pancaindera[5]
Hal inilah yang kemudian memicu Kant bersikap kritis untuk menyelidiki
batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia, yang kemudian
melahirkan filsafat kritisisme, atau ada juga yang menyebutnya dengan
Kanteisme. Dari sikap kritis Kant itulah muncul pertanyaan-pertanyaan dalam
benaknya:
1. Apa yang dapat saya
ketahui?
2. Apa yang harus saya
lakukan?
3. Apa yang boleh saya
harapkan?
C. Teori Pengetahuan Immanuel Kant
Dari
pertanyaan-pertanyaan kritis dalam benak Immanuel Kant seperti yang telah
disebutkan di atas, ia menjawabnya sebagai berikut:
- Apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indra. Lain daripada itu merupakan “ilusi” (noumenon) saja,
- Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan.
- Yang bisa diharapkan manusia, ditentukan oleh akal budinya.
Menurut Kant, syarat dasar bagi
segala ilmu pengetahuan adalah[6]
- bersifat umum dan mutlak
- memberi pengetahuan yang baru
Menurutnya Kant juga, ada tiga
tingkatan pengetahuan manusia, yaitu[7]
1.
Tingkat Pencerapan Indrawi (Sinneswahrnehmung)
Pengetahuan Merupakan sintesis dari
unsur- unsur yang ada sebelum (= prius, bhs Latin) pengalaman yakni unsur-unsur
a priori dengan unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yaitu unsur-unsur
aposteriori. Unsur a priori sudah terdapat pada taraf pencerapan indrawi. Di
sini sudah ada dua bentuk a priori yakni ruang dan waktu. Pengertian Kant
mengenai ruang dan waktu ini berbeda dengan ruang dan waktu dalam pandangan
Newton. Kalau Newton menempatkan ruang dan waktu ‘di luar’ manusia, kant
mengatakan bahwa keduanya adalah apriori sensibilitas. Maksud Kant,
keduanya sudah berakar di dalam struktur subjek. Ruang bukanlah ruang kosong,
ke dalamnya suatu benda bisa ditempatkan; ruang bukan merupakan “ruang pada
dirinya sendiri” (Raum an sich). Dan waktu bukanlah arus
tetap, dimana pengindraan-pengindraan berlangsung.
Implikasi dari pernyataan Kant di atas adalah realitas
terlepas dari subjek. Menurut Kant, memang ada benda pada dirinya sendiri ( das Ding an sich). Kondisi formal dari
fenomena apapun, dan bersifat apriori yang bisa diamati dan diselidiki
hanyalah fenomena-fenomena atau penampakan-penampakannya saja, yang tak lain
merupakan sintesis antara unsur-unsur yang datang dari luar sebagai materi
dengan bentuk-bentuk apriori ruang dan waktu di dalam struktur pemikiran
manusia.
2. Tingkat Akal Budi (Verstand)
Bersamaan
dengan pengamatan indrawi, bekerjalah akal budi secara spontan. Tugas akal budi
adalah menyusun dan menghubungkan data-data indrawi, sehingga menghasilkan
putusan-putusan. Dalam hal ini akal budi bekerja dengan bantuan fantasinnya (Einbildungskraft). Pengetahuan
akal budi baru diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi
tadi dengan bentuk-bentuk apriori yang dinamai Kant dengan
‘kategori’, yakni ide-ide bawaan yang mempunyai fungsi epistemologis dalam diri
manusia.
Menurut
Kant ada dua belas kategori di dalam akal budi.
Kategori-kategori yang bersifat Azasi adalah kategori- kategori yang
menunjukkan kuantitas (kesatuan, kejamakan, keutuhan), kualitas (realitas, negasi,
pembatasan), relasi ( substansi dan aksidens, sebaba dan akibat, interaksi),
modalitas (mungkin/mustahil, ada/tiada, keperluan/kebetulan). Dalam menerapkan
kategori-kategori ini, akal budi bekerja begitu rupa, sehingga
kategori-kategori itu hanya cocok dengan data-data yang dikenainya saja[8].
3. Tingkat intelek / Rasio (Versnunft)
Yang dimaksud Kant dengan budi atau intelak
(Vernunft) adalah daya cipta pengertian-pengertian murni atau
pengertian-pengertian yang mutlak perlu, yang tidak diperbolehkan dari
pengalaman melainkan mengatasi pengalaman-pengalaman itu sendiri[9]
. berbeda dengan akal budi yang memuat di dalamnya kategori-kategori, intelek
dengan ide-ide ini tidak ikut menyusun pengetahuan manusia. Ide-Idea ini
sifatnya semacam ‘indikasi-indikasi kabur’, petunjuk-petunjuk untuk pemikiran
(seperti juga kata ‘barat’ dan ‘timur’ merupakan petunjuk-petunjuk; ‘timur’ an
sich tidak pernah bisa diamati). Tugas intelek adalah menarik kesimpulan
dari pernyataan-pernyataan pada tingkat dibawahnya, yakni akal budi (Verstand) dan
tingkat pencerapan inderawi (Senneswahnehmung). Dengan kata lain,
intelek dengan idea-idea argumentatif.
Menurut Kant ada tiga idea transendental([10]).
Pertama, idea psikologis (jiwa) yang merupakan gagasan yang mutlak dan
mendasari segala gejala batiniah. Kedua, idea kosmologis (dunia) yang merupakan
gagasan yang menyatukan segala gejala lahiriah. Dan akhirnya, gagasan yang
mendasari segala gejala baik yang
lahirian maupun yang batiniah yang terdapat dalam suatu pribadi mutlak yakni
Allah sebagai idea teologis. Ketiga idea ini tidak termasuk pengalaman, dengan
adanya ketiga idea ini, Kant berharap tercapailah suatu kesatuan dan
kesempurnaan yang dicita-citakan akal budi dalam mengatur dunia fenomenal
(phainomenon= yang kelihatan, penampakan, bhs. Yunani), dunia indrawi, dunia
lahiriah-kelihatan.
Kendati Kant menerima ketiga idea
itu, ia berpendapat bahwa mereka tidak bisa diketahui lewat pengalaman. Karena
pengalaman itu, menurut kant, hanya terjadi di dalam dunia fenomenal, padahal
ketiga Idea itu berada di dunia noumenal (dari noumenan
= “yang dipikirkan”, “yang tidak tampak”, bhs. Yunani), dunia gagasan,
dunia batiniah. Idea mengenai jiwa, dunia dan Tuhan bukanlah
pengertian-pengertian tentang kenyataan indrawi, bukan “benda pada dirinya
sendiri” (das Ding an Sich). Ketiganya merupakan postulat atau
aksioma-aksioma epistemologis yang berada di luar jangkauan pembuktian
teoretis-empiris.
D. Pengetahuan
Immanuel Kant
Pemikiran Immanuel Kant
di atas, dapat diketahui beberapa teori pengetahuan yang dikemukakannya, antara
lain[11]:
- Teori a priori dan a posteriori
Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang bersumber tidak dari
pengalaman langsung, melainkan dari ‘aturan umum’ yang ‘dipinjam’ dari
pengalaman. Menurut Kant, kriteria pengetahuan a priori ada dua:
1. Idea of necessity (keharusan), misalnya setiap peristiwa tentu ada penyebabnya.
2. Strict-absolute (benar-benar absolut), misalnya semua benda memiliki berat. Menurut Kant, ada jenis pengetahuan yang bersumber dari dunia empirik yang bisa mencapai tingkat absolut karena kebenarannya mencapai tingkat kepastian.
1. Idea of necessity (keharusan), misalnya setiap peristiwa tentu ada penyebabnya.
2. Strict-absolute (benar-benar absolut), misalnya semua benda memiliki berat. Menurut Kant, ada jenis pengetahuan yang bersumber dari dunia empirik yang bisa mencapai tingkat absolut karena kebenarannya mencapai tingkat kepastian.
Sedangkan pengetahuan a posteriori atau pengetahuan empirik adalah
pengetahuan yang bersumber dari pengalaman.
A. Analitik dan Sintetik
A. Analitik dan Sintetik
Pengetahuan diformulasikan dalam bentuk putusan (judgement), ada dua
bentuk:
(a) Putusan analitik adalah
putusan dimana predikatnya ada di dalam subyek, misalnya semua lingkaran adalah
bulat.
(b) Putusan sintetik adalah
putusan dimana predikatnya di luar subyek, yaitu sesuatu yang berbeda dari
subyek dan memberikan tambahan terhadap subyek, misalnya semua benda memiliki
berat.
Obyek pengetahuan
Menurut
Kant, obyek pengetahuan ada dua, yaitu:
(a) Nomena, adalah eksistensi
yang dinalar akal (intelligible existence), yaitu sesuatu yang ada di
dalam diri mereka sendiri dan difikirkan oleh akal. Masalah-masalah rasional
itu adalah Tuhan, kebebasan dan keabadian jiwa.
(b) Fenomena, adalah
eksistensi indrawi dan menjadi obyek pengalaman dan obyek intuisi indrawi
(sensuous existence), bukan sesuatu yang ada di dalam dirinya sendiri. Fenomena
itu berupa materi dan ada dalam realitas indrawi. Fenomena adalah obyek dari
pengalaman yang bersifat mungkin.
- Sumber pengetahuan
(a) Indera (sense),
inilah yang menyerahkan obyek kepada kita. Tanpa kemampuan indrawi tidak akan
ada obyek yang diberikat kepada kita.
(b) Pemahaman (understanding),
inilah yang memberi kita pemikiran. Tanpa pemahaman tidak akan ada obyek yang
dipikirkan.
Pemikiran-pemikiran
Immanuel Kant kemudian juga melahirkan filsafat kritik atau biasa dikenal
dengan kritisisme, dengan ciri-ciri dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. menganggap bahwa
obyek pengenalan itu berpusat pada subyek dan bukan pada obyek.
2. menegaskan
keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat
sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
3. menjelaskan bahwa
pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan
unsur Anaximenes priori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu,
dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.
E. Imperatif
kategoris dan Imperatif hipotesis Immanuel Kant
1. latarbelakang Immanuel Kant tentang
Imperatif Kategoris
Imperatif
adalah suatu bentuk perintah. Kant memakai istilah imperatif dalam artian bukan
sembarang perintah, melainkan mengungkapkan sebuah keharusan (sollen) .
perintah dalalm arti ini adalah rasional, bukan karena paksaaan. Perintah yang
dimaksud adalah perintah yang berdasarkan suatu keharusan objektif, bukan
paksaan melainkan pertimbangan yang meyakinkan dan membuat kita taat.
Dalam
pembahasan lain dapat dikatakan bahwa moralitas manusia yang patut dijadikan
perhatian, karena dalam konteks ini sistem merupakan alat dan manusia sebagi
penggerak alat yang bertanggung jawab mau dibawa kemanakah atau mau diapakan
kah alat tersebut. Kemudian Immanuel Kant muncul dan mencetuskan teorinya yang
terkenal mengenai etika, yakni etika Imperatif Kategoris. Sebagian orang ada
yang menyebutnya dengan etika kewajiban. Teori ini beranggapan bahwa sesuatu
yang baik berada di dalam kehendak yang baik. Maka seseorang berbuat baik bukan
karena berdasarkan tujuan atau hubungan kausalitas yang terjadi dari sebab yang
menjadi akibat, melainkan berbuat baik karena sifat Imperatif (perintah) dari
kewajiban kehendak yang baik dan harus dilakukan tanpa disertai motif atau
pengharapan imbalan apapun.
Munculnya
Kant dengan pemikiran etikanya, sebenarnya dilatarbelakangi oleh realitas bahwa
pure reason (akal murni) yang
menghasilkan sains tidak mampu memasuki wilayah neumena, yaitu dunia thing in
itself atau dunia supra fenomena. Bagi Kant rasio dan sains sangat terbatas
dan hanya mengetahui penampakan objek, maka harus menggunakan practical reason (akal praktis).
2. Imperatif
Kategoris dan imperatif hipotesis Kant
Dalam
bangunan etika Kant terdapat lima pandangan yang menjadi hal terpenting dalam
pemikiran Immanuel Kant diantaranya adalah Imperatif Kategoris dan imperatif
hipotesis, Legalitas dan Moralitas, Otonomi dan Kehendak, Kebaikan dan
kebahagiaan, Etika dan Agama. namun dalam pembahasan ini hanya dibahas mengenai
Imperatif Kategoris dan imperatif hipotesis saja.
Imperatif
Kategoris Immanuel Kant merupakan bahasan terpenting dalam bangunan etika
Immanuel Kant, bahkan dapat dikatakan sebagai ide dasar bagi bangunan etikanya.
Imperatif Kategoris merupakan perintah moral yang mutlak sehingga semua tingkah
laku yang diwajibkannya adalah baik dalam arti moral, yang bukan baik dalam
arti hanya sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan. Kant sangat menentang
manusia sebagai alat atau sarana dalam mencapai suatu tujuan (walaupun itu
kebaikan), hubungan antar sesama manusia dapat mengaburkan arti dari kebaikan
itu sendiri atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu, disini Kant
memposisikan manusia di tempat tertinggi sebagai subjek kebaikan.
Secara sederhana
, Imperatif Kategoris disimbolkan dengan
perkataan “bertindaklah secara moral”. Ada
dua segi yang perlu kita perhatikan
dalam imperatif kategoris[12].
Pertama, bahwa ia berupa perintah; kedua, bahwa perintah itu kategoris.
Sebagai Perintah, imperatif kategoris
bukan sembarang perintah. Kant memakai kata imperatif
atau perintah bukan bagi segala
macam permintaan atau komando, melainkan untuk mengungkapkan sebuah KEHARUSAN (sollen). Perintah dalam arti ini
adalah rasional. Keharusan yang di maksud Kant adalah kewajiban-kewajiban dalam
bertindak yang berlaku bagi siapa saja dan tidak berdasarkan yang asal enak
saja.
Ada tiga
macam perintah atau keharusan[13]:
1.
Keharusan keterampilan yang bersifat teknis, misalnya
kalau mau memakai mobil harus mengisi bensin dahulu.
2.
Keharusan kebijaksanaan pragmatis, misalnya kalau mau
mengurangi risiko serangan jantung, kurangilah makanan berkolesterol.
3.
Keharusan (Imperatif) kategoris
Dua keharusan (1 dan 2) tidak mutlak melainkan hanya
berlaku apabila saya menghendaki suatu tujuan.
Dua imperatif ini disebut oleh Kant sebagai Imperatif hipotesis, yaitu
imperatif atau keharusan bersyarat dan berlaku secara umum[14].
Bentuknya adalah “kalau saya menghendaki x, maka saya harus melakukan y”. Kalau
kita menuruti imperatif hipotesis, ada bahaya bahwa perintah itu ditaati hanya
karena kepentingan diri sendiri belaka, sehingga tersirat da dalamnya suatu
dorongan egoistis. Sedangkan imperatif kategoris adalah keharusan yang tidak
bersyarat melainkan mutlak: berlaku umum, selalu dan dimana-mana (
universal). Imperatif kategoris ini tidak berhubungan dengan suatu tujuan yang
mau dicapai. Sifat dari imperatif kategoris adalah formal, artinya hanya
merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh perbuatan mana pun juga agar
dapat memperoleh nilai moral yang baik, terlepas dari tujuan materialnya.
Imperarif kategoris berkata “kamu wajib”( Du
sollst!). singkatnya, dalam
imperatif kategoris terjadi bahwa orang harus bertindak demi untuk kewajiban semata-mata. Keharusan
ini bersifat mutlak, tidak memperhatikan selera suka-tidak suka, menguntungkan
atau tidak menguntungkan kita[15].
Kehendak baik tidaklah tergantung pada hasil yang akan dicapai, tetapi lebih kepada bahwa bertindak baik demi kewajiban sebagai manusia. misalnya perintah “jangan berbohong”. Perintah ini mengikat setiap orang dan karenanya bersifat universal. Ada tiga kemungkinan orang melakukan kewajiban, yakni karena menguntungkan, dorongan dari hati/ belas kasihan dan karena kewajiban. Menurut Kant hanya kehendak yang terakhir inilah yang betul-betul bermoral. Melakukan perbuatan karena menguntungkan ataupun karena belas kasihan itu disebut dengan legalitas. Secara lahiriah dua keadaan tersebut memang ada kesesuaian antara kehendak dan kewajiban, tapi secara batin segi kewajiban tidak memiliki peranan. Melakukan kewajiban karena mau memenuhi kewajiban itulah yang disebut kehendak baik (good will) tanpa pembatasan. Itu yang dimaksud dengan moralitas menurut Kant[16]. selain itu tindakan moral juga harus bersifat sintetik a priori. jujur itu benar ; jujur itu a priori, diketahui oleh semua orang dalam akal murni /pure reason , sedangkan benar itu sintesis, karena konsep benar tidak terkandung di dalam konsep jujur. Oleh karena itu, ia termasuk sintesis a priori.
E.
kesimpulan
Dari
beberapa pemikiran Immanuel Kant di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Pengetahuan
didapatkan dari semua objek yang diadaptasikan kepada akal budi yang
mengetahuinya. Pengetahuan manusia merupakan gabungan dari dua faktor yaitu
bentuk dan isi, dimana isi tersebut diberikan oleh pengalaman inderawi.
Pengetahuan manusia tidak pernah membawah kita ke dalam hubungan dengan dunia
yang riil, yang disebut sebagai dunia
noumal dan segala sesuatu yang kita kenal adalah dunia fenomenal. Pengetahuan manusia terbatas pada dunia yang
fenomenal, dunia yang tampak, dunia yang dibentuk oleh struktur akal budi
manusia yang mengetahui.
Imperatif
Kategoris merupakan perintah moral yang mutlak sehingga semua tingkah laku yang
diwajibkannya adalah baik dalam arti moral, yang bukan baik dalam arti hanya
sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan. Imperatif kategoris adalah
keharusan yang tidak bersyarat melainkan mutlak: berlaku umum, selalu dan dimana-mana ( universal). Imperatif
hipotesis, yaitu imperatif atau keharusan bersyarat dan berlaku secara umum
Daftar Pustaka
Afandi, Abdullah Khozin. Perkembangan
Epistemologi dari Periode Klasik Sampai Modern. Surabaya: IAIN Sunan Ampel,
2008.
Hakim, Atang Abdul, dkk. Filsafat
Umum. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Nash, Ronal H. Firman Allah dan Akal Budi Manusia.Surabaya: Momentum,2008.
Praja, Juhaya. S. Aliran-Aliran
Filsafat & Etika. Jakarta: Kencana, 2010.
Suseno, Frans
Magnis. 13 Tokoh Etika.(Yogyakarta:
Kanisius,1997
Tjahjadi, S.P
Lili. Hukum Moral.Yogyakarta:
Kanisius, 1991
Kutipan
[1]. S.P Lili Tjahjadi. Hukum Moral.(Yogyakarta:
Kanisius, 1991), 25.
[2]. Frans Magnis Suseno. 13 Tokoh
Etika.(Yogyakarta: Kanisius,1997),137.
[3]. Dikutip
dari O. Hoffe, Immanuel Kant, Munchen, 1983, hlm. 35.
[4] Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran
Filsafat & Etika. (Jakarta: Kencana, 2010), 116.
[5]. Atang Abdul Hakim,
dkk. Filsafat Umum. (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 280.[6] Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran
Filsafat & Etika. (Jakarta: Kencana, 2010), 116
[7] S.P. Lili
Tjahjadi.Hukum moral. ( Yogyakarta:Kanisius,1991),36-39
[8]. Bdk.
dengan perumpamaan yang diberi Bertens (1986,hlm.61) tentang mata yang kacanya
berwarna merah.
[9]. S.P. Lili Tjahjadi.Hukum moral. (
Yogyakarta:Kanisius,1991), 38.
[10] S.P. Lili
Tjahjadi.Hukum moral. ( Yogyakarta:Kanisius,1991), 38.
[11]. Abdullah Khozin Afandi, Perkembangan
Epistemologi dari Periode Klasik Sampai Modern, (Surabaya: IAIN Sunan
Ampel, 2008), 81.
[12].
Franz Magnis –Suseno. 1997. “13 Tokoh Etika : sejak zaman Yunani sampai abad
ke-19”. Yogyakarta. Hal 145
[13].
Franz Magnis –Suseno. 1997. “13 Tokoh Etika : sejak zaman Yunani sampai abad
ke-19”. (Yogyakarta),146
[14]. S.P. Lili
Tjahjadi.Hukum moral. ( Yogyakarta:Kanisius,1991), 49
[15]. S.P. Lili Tjahjadi.Hukum moral. (
Yogyakarta:Kanisius,1991), 50
[16].
Franz Magnis –Suseno. 1997. “13 Tokoh Etika : sejak zaman Yunani sampai abad
ke-19”. Yogyakarta. Hal 143-144