Senin, 20 Juni 2016

Pengetahuan Menurut Immanuel Kant




PEMBAHASAN

      A.     Latar Belakang Biografis Immanuel Kant

1. Biografis kehidupan Immanuel Kant
Immanuel Kant adalah seorang filsuf besar yang pernah tampil dalam pentas pemikiran filosofis zaman Aufklarung jerman menjelang abad ke-18. Ia lahir pada tanggal 22 April 1724 di Königsberg, Prusia Timur, Jerman[1] Kant lahir sebagai anak keempat dari suatu keluarga miskin. Keluarganya menganut kristiani yang saleh. Orang tua Kant adalah pembuat pelana kuda dan penganut setia gerakan Peitisme. Pada usia 8 tahun Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium Fridericianum, sekolah yang berlandaskan semangat Peitisme.
Pada tahun 1740 Kant meninggalkan gymnasium dan melanjutkan studinya tentang teologi di Universits Königsberg saat usianya 16 tahun. Namun perhatiannya justru tercurah pada filsafat, ilmu pasti dan fisika. Karena tidak mampu membiayai studinya, Kant memperoleh uang studinya dari beasiswa. Setelah selesai ia menjadi guru privat.
Sejak kecil ia tidak meninggalkan desanya, kecuali hanya selama beberapa waktu singkat untuk mengajar di desa tetangganya. Kemudian pada tahun 1755, ia kembali ke Universitas Königsberg menjadi dosen.
Karya  dapat dibagi menjadi dua bagian, bagian prakritis dan tahap kritis. Kant menulis tentang berbagai masalah dari bidang ilmu alam, ilmu pasti, dan filsafat[2]. Kemudian, selama 11 tahun  tak ada tulisan  Kant apapun. Itulah saat pemikiran Kant berubah.  Menurut Kant sendiri Hume-lah yang menjadikan ia bangun dari tidurnya dalam dogmatism. Hume berpendapat bahwa empiris adalah sebuah pengetahuan yang tak lebih dari kesan-kesan inderawi saja, namun Kant menentangnya. kira-kira tahun 1770 sebagai garis perbatasannya, yaitu ketika ia menerima jabatan Guru Besar Logika dan Metafisika di Königsberg. Sejak itu ia menyodorkan filsafatnya kepada dunia dengan penuh kepastian, sedang sebelumnya masih terdapat perubahan-perubahan dalam tulisan tulisannya. Immanuel Kant meninggal menjelang usia 80 tahun pada 12 Februari 1804 di Königsberg.

2. Karya Immanuel Kant

Dari pemikiran-pemikirannya tersebut, Kant menghasilkan beberapa karya buku-buku yang cukup fenomenal, antara lain:
1.      Kritik atas Rasio Murni (1781)
(Jerm.: “Kritik der Reinen Vernunft”, Ingg.: “Critique of Pure Reason”)
Dalam kritik ini, atara lain Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu:
a. Putusan analitis a priori; dimana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang).
b. Putusan sintesis a posteriori, misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah (post, bhs latin) mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.
c. Putusan sintesis a priori; disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat apriori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak, namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab di dalam pengertian “sebab”. Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika dan ilmu pengetahuan alam disusun atas putusan sintetis yang bersifat apriori ini.
Pada taraf indra, ia berpendapat bahwa dalam pengetahuan indrawi selalu ada dua bentuk a priori yaitu ruang dan waktu.
2.      Kritik atas Rasio Praktis (1788)
(Jerm.: “Kritik der Practischen Vernunft”, Ingg.: “Critique of Practical Reason”)
Maxime (aturan pokok) adalah pedoman subyektif bagi perbuatan orang perseorangan (individu), sedangkan imperative (perintah) merupakan azas kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan. Imperatif berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan bersyarat (hypothetical) atau dapat juga tanpa syarat (categorical). Imperatif kategorik tidak mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan formal (solen). Menurut Kant, perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber pada kewajiban dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan sikap hormat (achtung). Sikap inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.
Pada Akhirnya Kant ingin menunjukkan bahwa kenyataan adanya kesadaran susila mengandung adanya praanggapan dasar. Praanggapan dasar ini oleh Kant disebut “postulat rasio praktis”, yaitu kebebasan kehendak, immortalitas jiwa, dan adanya Tuhan.
Pemikiran etika ini, menjadikan Kant dikenal sebagai pelopor lahirnya apa yang disebut dengan “argumen moral” tentang adanya Tuhan. Sebenarnya, Tuhan dimaksudkan sebagai postulat. Sama dengan pada rasio murni, dengan Tuhan, rasio praktis ‘bekerja’ melahirkan perbuatan susila.
3.      Kritik atas Daya Pertimbangan (1790)
(Jerm.: “Kritik der Arteilskraft”, Ingg.: “Critique of Judgement”)
Kritik atas daya pertimbangan, dimaksudkan oleh Kant adalah mengerti persesuaian kedua kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.
          Buku ini tentang persesuaian antara keperluan bidang duniawi (alam) dengan tingkah laku manusia,. Dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Menjelaskan ulang secara lengkap tentang buku pertama dan kedua Finalitas dapat bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia itu sendiri. Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda.


B.    Latar Belakang Pemikiran Immanuel Kant
Pemikiran Kant mengalami empat periode perkembangan, yaitu:
-         Periode pertama ialah ketika ia masih dipengaruhi oleh Leibniz-Wolf, yaitu sampai tahun 1760. Periode ini sering disebut periode rasionalistik.
-         Periode kedua berlangsung antara tahun 1760–1770, yang ditandai dengan semangat skeptisisme. Periode ini sering disebut periode empiristik karena dominasi pemikiran empirisme Hume. Karyanya yang muncul dalam periode ini adalah Dream  of a Spirit  Seer.
-         Periode ketiga dimulai dari inaugural disertasinya pada tahun 1770. Periode ini bisa dikenal sebagai periode kritis. Karyanya yang muncul dalam periode ini diantaranya: The Critique of Pure Reason (1781), Prolegomena to any Future Methaphysics (1787), Metaphysical Foundation of Rational Science (1786),  Critique of Practical Reason (1788), Critique of Judgment (1790). Menurut Schopenhauer Karya Immanuel Kant Tentang Kritik der reinen Vernunft ( Kritik terhadap Akal Budi Murni merupakan buku terpenting yang pernah ditulis di Eropa [3].
-         Periode keempat berlangsung antara tahun 1790 sampai tahun 1804. Pada periode ini Kant mengalihkan perhatiannya pada masalah religi dan problem-problem sosial. Karya Kant yang terpenting pada periode keempat adalah Religion within the Limits of Pure Reason (1794) dan sebuah kumpulan essei berjudul Eternal Peace (1795).

Pada awalnya Immanuel Kant memandang rasionalisme dan empirisme senantiasa berat sebelah dalam menilai akal dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Rasionalisme berpendirian bahwa rasio merupakan sumber pengenalan atau pengetahuan. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subyeknya, lepas dari pengalaman. Sedangkan empirisme berpendirian bahwa pengalaman menjadi sumber pengetahuan. Empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja [4].
Menurut Kant, pengenalan manusia merupakan sintesis antara unsur-unsur a priori dan unsur-unsur a posteriori, yaitu unsur rasio/akal dan juga unsur inderawi/pengalaman. Menurutnya akal murni itu terbatas, menghasilkan pengetahuan tanpa dasar inderawi atau independen dari alat pancaindera[5]
Hal inilah yang kemudian memicu Kant bersikap kritis untuk menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia, yang kemudian melahirkan filsafat kritisisme, atau ada juga yang menyebutnya dengan Kanteisme. Dari sikap kritis Kant itulah muncul pertanyaan-pertanyaan dalam benaknya:
1.      Apa yang dapat saya ketahui?
2.      Apa yang harus saya lakukan?
3.      Apa yang boleh saya harapkan?

     C.    Teori Pengetahuan Immanuel Kant
Dari pertanyaan-pertanyaan kritis dalam benak Immanuel Kant seperti yang telah disebutkan di atas, ia menjawabnya sebagai berikut:

  1.       Apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indra.          Lain daripada itu merupakan “ilusi” (noumenon) saja,
  2.     Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan.
  3.     Yang bisa diharapkan manusia, ditentukan oleh akal budinya.
Menurut Kant, syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan adalah[6]

  •  bersifat umum dan mutlak
  • memberi pengetahuan yang baru

Menurutnya Kant juga, ada tiga tingkatan pengetahuan manusia, yaitu[7]
      1.  Tingkat Pencerapan Indrawi (Sinneswahrnehmung)
                  Pengetahuan Merupakan sintesis dari unsur- unsur yang ada sebelum (= prius, bhs Latin) pengalaman yakni unsur-unsur a priori dengan unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yaitu unsur-unsur aposteriori. Unsur a priori sudah terdapat pada taraf pencerapan indrawi. Di sini sudah ada dua bentuk a priori yakni ruang dan waktu. Pengertian Kant mengenai ruang dan waktu ini berbeda dengan ruang dan waktu dalam pandangan Newton. Kalau Newton menempatkan ruang dan waktu ‘di luar’ manusia, kant mengatakan bahwa keduanya adalah apriori sensibilitas. Maksud Kant, keduanya sudah berakar di dalam struktur subjek. Ruang bukanlah ruang kosong, ke dalamnya suatu benda bisa ditempatkan; ruang bukan merupakan “ruang pada dirinya sendiri” (Raum an sich). Dan waktu bukanlah arus tetap, dimana pengindraan-pengindraan berlangsung.
                  Implikasi dari pernyataan Kant di atas adalah realitas terlepas dari subjek. Menurut Kant, memang ada benda pada dirinya sendiri ( das Ding an sich). Kondisi formal dari fenomena apapun, dan bersifat apriori yang bisa diamati dan diselidiki hanyalah fenomena-fenomena atau penampakan-penampakannya saja, yang tak lain merupakan sintesis antara unsur-unsur yang datang dari luar sebagai materi dengan bentuk-bentuk apriori ruang dan waktu di dalam struktur pemikiran manusia.
2.   Tingkat Akal Budi (Verstand)
Bersamaan dengan pengamatan indrawi, bekerjalah akal budi secara spontan. Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-data indrawi, sehingga menghasilkan putusan-putusan. Dalam hal ini akal budi bekerja dengan bantuan fantasinnya (Einbildungskraft). Pengetahuan akal budi baru diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi tadi dengan bentuk-bentuk apriori yang dinamai Kant dengan ‘kategori’, yakni ide-ide bawaan yang mempunyai fungsi epistemologis dalam diri manusia.
            Menurut Kant ada dua belas kategori di dalam akal budi.  Kategori-kategori yang bersifat Azasi adalah kategori- kategori yang menunjukkan kuantitas (kesatuan, kejamakan, keutuhan), kualitas (realitas, negasi, pembatasan), relasi ( substansi dan aksidens, sebaba dan akibat, interaksi), modalitas (mungkin/mustahil, ada/tiada, keperluan/kebetulan). Dalam menerapkan kategori-kategori ini, akal budi bekerja begitu rupa, sehingga kategori-kategori itu hanya cocok dengan data-data yang dikenainya saja[8].
3.   Tingkat intelek / Rasio (Versnunft)
            Yang  dimaksud Kant dengan budi atau intelak (Vernunft) adalah daya cipta pengertian-pengertian murni atau pengertian-pengertian yang mutlak perlu, yang tidak diperbolehkan dari pengalaman melainkan mengatasi pengalaman-pengalaman itu sendiri[9] . berbeda dengan akal budi yang memuat di dalamnya kategori-kategori, intelek dengan ide-ide ini tidak ikut menyusun pengetahuan manusia. Ide-Idea ini sifatnya semacam ‘indikasi-indikasi kabur’, petunjuk-petunjuk untuk pemikiran (seperti juga kata ‘barat’ dan ‘timur’ merupakan petunjuk-petunjuk; ‘timur’ an sich tidak pernah bisa diamati). Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat dibawahnya, yakni akal budi (Verstand) dan tingkat pencerapan inderawi (Senneswahnehmung). Dengan kata lain, intelek dengan idea-idea argumentatif.
            Menurut Kant ada tiga idea transendental([10]). Pertama, idea psikologis (jiwa) yang merupakan gagasan yang mutlak dan mendasari segala gejala batiniah. Kedua, idea kosmologis (dunia) yang merupakan gagasan yang menyatukan segala gejala lahiriah. Dan akhirnya, gagasan yang mendasari segala gejala  baik yang lahirian maupun yang batiniah yang terdapat dalam suatu pribadi mutlak yakni Allah sebagai idea teologis. Ketiga idea ini tidak termasuk pengalaman, dengan adanya ketiga idea ini, Kant berharap tercapailah suatu kesatuan dan kesempurnaan yang dicita-citakan akal budi dalam mengatur dunia fenomenal (phainomenon= yang kelihatan, penampakan, bhs. Yunani), dunia indrawi, dunia lahiriah-kelihatan.
            Kendati Kant menerima ketiga idea itu, ia berpendapat bahwa mereka tidak bisa diketahui lewat pengalaman. Karena pengalaman itu, menurut kant, hanya terjadi di dalam dunia fenomenal, padahal ketiga Idea itu berada di dunia noumenal (dari noumenan = “yang dipikirkan”, “yang tidak tampak”, bhs. Yunani), dunia gagasan, dunia batiniah. Idea mengenai jiwa, dunia dan Tuhan bukanlah pengertian-pengertian tentang kenyataan indrawi, bukan “benda pada dirinya sendiri” (das Ding an Sich). Ketiganya merupakan postulat atau aksioma-aksioma epistemologis yang berada di luar jangkauan pembuktian teoretis-empiris.

    D.   Pengetahuan Immanuel Kant

                   Pemikiran Immanuel Kant di atas, dapat diketahui beberapa teori pengetahuan yang dikemukakannya, antara lain[11]:

  1. Teori a priori dan a posteriori
            Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang bersumber tidak dari pengalaman langsung, melainkan dari ‘aturan umum’ yang ‘dipinjam’ dari pengalaman. Menurut Kant, kriteria pengetahuan a priori ada dua:
1.  Idea of necessity (keharusan), misalnya setiap peristiwa tentu ada penyebabnya.
2. Strict-absolute (benar-benar absolut), misalnya semua benda memiliki berat. Menurut Kant, ada jenis pengetahuan yang bersumber dari dunia empirik yang bisa mencapai tingkat absolut karena kebenarannya mencapai tingkat kepastian.
            Sedangkan pengetahuan a posteriori atau pengetahuan empirik adalah pengetahuan yang bersumber dari pengalaman. 
A.   Analitik dan Sintetik
            Pengetahuan diformulasikan dalam bentuk putusan (judgement), ada dua bentuk:
(a)     Putusan analitik adalah putusan dimana predikatnya ada di dalam subyek, misalnya semua lingkaran adalah bulat.
(b)     Putusan sintetik adalah putusan dimana predikatnya di luar subyek, yaitu sesuatu yang berbeda dari subyek dan memberikan tambahan terhadap subyek, misalnya semua benda memiliki berat.
        Obyek pengetahuan
Menurut Kant, obyek pengetahuan ada dua, yaitu:
(a)     Nomena, adalah eksistensi yang dinalar akal (intelligible existence), yaitu sesuatu yang ada di dalam diri mereka sendiri dan difikirkan oleh akal. Masalah-masalah rasional itu adalah Tuhan, kebebasan dan keabadian jiwa.
(b)     Fenomena, adalah eksistensi indrawi dan menjadi obyek pengalaman dan obyek intuisi indrawi (sensuous existence), bukan sesuatu yang ada di dalam dirinya sendiri. Fenomena itu berupa materi dan ada dalam realitas indrawi. Fenomena adalah obyek dari pengalaman yang bersifat mungkin.

  1. Sumber pengetahuan
(a)     Indera (sense), inilah yang menyerahkan obyek kepada kita. Tanpa kemampuan indrawi tidak akan ada obyek yang diberikat kepada kita.
(b)     Pemahaman (understanding), inilah yang memberi kita pemikiran. Tanpa pemahaman tidak akan ada obyek yang dipikirkan.

Pemikiran-pemikiran Immanuel Kant kemudian juga melahirkan filsafat kritik atau biasa dikenal dengan kritisisme, dengan ciri-ciri dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      menganggap bahwa obyek pengenalan itu berpusat pada subyek dan bukan pada obyek.
2.      menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
3.      menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur Anaximenes priori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu, dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.


E. Imperatif kategoris dan Imperatif hipotesis Immanuel Kant

 1. latarbelakang Immanuel Kant tentang Imperatif Kategoris
Imperatif adalah suatu bentuk perintah. Kant memakai istilah imperatif dalam artian bukan sembarang perintah, melainkan mengungkapkan sebuah keharusan (sollen) . perintah dalalm arti ini adalah rasional, bukan karena paksaaan. Perintah yang dimaksud adalah perintah yang berdasarkan suatu keharusan objektif, bukan paksaan melainkan pertimbangan yang meyakinkan dan membuat kita taat.
Dalam pembahasan lain dapat dikatakan bahwa moralitas manusia yang patut dijadikan perhatian, karena dalam konteks ini sistem merupakan alat dan manusia sebagi penggerak alat yang bertanggung jawab mau dibawa kemanakah atau mau diapakan kah alat tersebut. Kemudian Immanuel Kant muncul dan mencetuskan teorinya yang terkenal mengenai etika, yakni etika Imperatif Kategoris. Sebagian orang ada yang menyebutnya dengan etika kewajiban. Teori ini beranggapan bahwa sesuatu yang baik berada di dalam kehendak yang baik. Maka seseorang berbuat baik bukan karena berdasarkan tujuan atau hubungan kausalitas yang terjadi dari sebab yang menjadi akibat, melainkan berbuat baik karena sifat Imperatif (perintah) dari kewajiban kehendak yang baik dan harus dilakukan tanpa disertai motif atau pengharapan imbalan apapun. 
 Munculnya Kant dengan pemikiran etikanya, sebenarnya dilatarbelakangi oleh realitas bahwa pure reason (akal murni) yang menghasilkan sains tidak mampu memasuki wilayah neumena, yaitu dunia thing in itself atau dunia supra fenomena. Bagi Kant rasio dan sains sangat terbatas dan hanya mengetahui penampakan objek, maka harus menggunakan practical reason (akal praktis).

2. Imperatif Kategoris dan imperatif  hipotesis Kant

Dalam bangunan etika Kant terdapat lima pandangan yang menjadi hal terpenting dalam pemikiran Immanuel Kant diantaranya adalah Imperatif Kategoris dan imperatif hipotesis, Legalitas dan Moralitas, Otonomi dan Kehendak, Kebaikan dan kebahagiaan, Etika dan Agama. namun dalam pembahasan ini hanya dibahas mengenai Imperatif Kategoris dan imperatif hipotesis saja.
Imperatif Kategoris Immanuel Kant merupakan bahasan terpenting dalam bangunan etika Immanuel Kant, bahkan dapat dikatakan sebagai ide dasar bagi bangunan etikanya. Imperatif Kategoris merupakan perintah moral yang mutlak sehingga semua tingkah laku yang diwajibkannya adalah baik dalam arti moral, yang bukan baik dalam arti hanya sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan. Kant sangat menentang manusia sebagai alat atau sarana dalam mencapai suatu tujuan (walaupun itu kebaikan), hubungan antar sesama manusia dapat mengaburkan arti dari kebaikan itu sendiri atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu, disini Kant memposisikan manusia di tempat tertinggi sebagai subjek kebaikan.

Secara sederhana , Imperatif  Kategoris disimbolkan dengan perkataan “bertindaklah secara moral”.  Ada  dua segi yang perlu kita perhatikan dalam imperatif kategoris[12]. Pertama, bahwa ia berupa perintah; kedua, bahwa perintah itu kategoris. Sebagai  Perintah, imperatif kategoris bukan sembarang perintah. Kant memakai kata imperatif atau perintah bukan bagi segala macam permintaan atau komando, melainkan untuk mengungkapkan sebuah KEHARUSAN (sollen). Perintah  dalam arti ini adalah rasional. Keharusan yang di maksud Kant adalah kewajiban-kewajiban dalam bertindak yang berlaku bagi siapa saja dan tidak berdasarkan yang asal enak saja.
Ada tiga macam perintah atau keharusan[13]:
1.             Keharusan keterampilan yang bersifat teknis, misalnya kalau mau memakai mobil harus mengisi bensin dahulu.
2.             Keharusan kebijaksanaan pragmatis, misalnya kalau mau mengurangi risiko serangan jantung, kurangilah makanan berkolesterol.
3.             Keharusan (Imperatif) kategoris

Dua keharusan (1 dan 2) tidak mutlak melainkan hanya berlaku apabila saya menghendaki suatu tujuan.  Dua imperatif ini disebut oleh Kant sebagai Imperatif hipotesis, yaitu imperatif atau keharusan bersyarat dan berlaku secara umum[14]. Bentuknya adalah “kalau saya menghendaki x, maka saya harus melakukan y”. Kalau kita menuruti imperatif hipotesis, ada bahaya bahwa perintah itu ditaati hanya karena kepentingan diri sendiri belaka, sehingga tersirat da dalamnya suatu dorongan egoistis. Sedangkan imperatif kategoris adalah keharusan yang tidak bersyarat melainkan mutlak: berlaku umum,  selalu dan dimana-mana   ( universal). Imperatif kategoris ini tidak berhubungan dengan suatu tujuan yang mau dicapai. Sifat dari imperatif kategoris adalah formal, artinya hanya merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh perbuatan mana pun juga agar dapat memperoleh nilai moral yang baik, terlepas dari tujuan materialnya. Imperarif kategoris berkata “kamu wajib”( Du sollst!).  singkatnya, dalam imperatif kategoris terjadi bahwa orang harus bertindak  demi untuk kewajiban semata-mata. Keharusan ini bersifat mutlak, tidak memperhatikan selera suka-tidak suka, menguntungkan atau tidak menguntungkan kita[15].

         Kehendak baik tidaklah tergantung pada hasil yang akan dicapai, tetapi lebih kepada bahwa bertindak baik demi kewajiban sebagai manusia. misalnya perintah “jangan berbohong”. Perintah ini mengikat setiap orang dan karenanya bersifat universal. Ada tiga kemungkinan orang melakukan kewajiban, yakni karena menguntungkan, dorongan dari hati/ belas kasihan dan karena kewajiban. Menurut Kant hanya kehendak yang terakhir inilah yang betul-betul bermoral. Melakukan perbuatan karena menguntungkan ataupun karena belas kasihan itu disebut dengan legalitas. Secara lahiriah dua keadaan tersebut memang ada kesesuaian antara kehendak dan kewajiban, tapi secara batin segi kewajiban tidak memiliki peranan. Melakukan kewajiban karena mau memenuhi kewajiban itulah yang disebut kehendak baik (good will) tanpa pembatasan. Itu yang dimaksud dengan moralitas menurut Kant[16].  selain itu tindakan moral juga harus bersifat sintetik a priori. jujur itu benar ; jujur itu a priori, diketahui oleh semua orang  dalam akal murni /pure reason , sedangkan benar itu sintesis, karena konsep benar tidak terkandung di dalam konsep jujur. Oleh karena itu, ia termasuk sintesis a priori.




E. kesimpulan
Dari beberapa pemikiran Immanuel Kant di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Pengetahuan didapatkan dari semua objek yang diadaptasikan kepada akal budi yang mengetahuinya. Pengetahuan manusia merupakan gabungan dari dua faktor yaitu bentuk dan isi, dimana isi tersebut diberikan oleh pengalaman inderawi. Pengetahuan manusia tidak pernah membawah kita ke dalam hubungan dengan dunia yang riil, yang disebut sebagai dunia noumal dan segala sesuatu yang kita kenal adalah dunia fenomenal. Pengetahuan manusia terbatas pada dunia yang fenomenal, dunia yang tampak, dunia yang dibentuk oleh struktur akal budi manusia yang mengetahui.
 Imperatif Kategoris merupakan perintah moral yang mutlak sehingga semua tingkah laku yang diwajibkannya adalah baik dalam arti moral, yang bukan baik dalam arti hanya sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan. Imperatif kategoris adalah keharusan yang tidak bersyarat melainkan mutlak: berlaku umum,  selalu dan dimana-mana   ( universal). Imperatif hipotesis, yaitu imperatif atau keharusan bersyarat dan berlaku secara umum









Daftar Pustaka
Afandi, Abdullah Khozin. Perkembangan Epistemologi dari Periode Klasik Sampai Modern. Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2008.
Hakim, Atang Abdul, dkk. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Nash, Ronal H. Firman Allah dan Akal Budi Manusia.Surabaya: Momentum,2008.
Praja, Juhaya. S. Aliran-Aliran Filsafat & Etika. Jakarta: Kencana, 2010.
Suseno, Frans Magnis. 13 Tokoh Etika.(Yogyakarta: Kanisius,1997
Tjahjadi, S.P Lili. Hukum Moral.Yogyakarta: Kanisius, 1991

Kutipan
 




[1].  S.P Lili Tjahjadi. Hukum Moral.(Yogyakarta: Kanisius, 1991), 25.
[2].  Frans Magnis Suseno. 13 Tokoh Etika.(Yogyakarta: Kanisius,1997),137. 
[3]. Dikutip dari O. Hoffe, Immanuel Kant, Munchen, 1983, hlm. 35.
[4]  Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat & Etika. (Jakarta: Kencana, 2010), 116.
[5]. Atang Abdul Hakim, dkk. Filsafat Umum. (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 280.[6]  Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat & Etika. (Jakarta: Kencana, 2010), 116
[7]  S.P. Lili Tjahjadi.Hukum moral. ( Yogyakarta:Kanisius,1991),36-39
[8]. Bdk. dengan perumpamaan yang diberi Bertens (1986,hlm.61) tentang mata yang       kacanya berwarna merah. 
[9].  S.P. Lili Tjahjadi.Hukum moral. ( Yogyakarta:Kanisius,1991), 38.
[10] S.P. Lili Tjahjadi.Hukum moral. ( Yogyakarta:Kanisius,1991), 38.
[11]. Abdullah Khozin Afandi, Perkembangan Epistemologi dari Periode Klasik Sampai     Modern, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2008), 81.
[12]. Franz Magnis –Suseno. 1997. “13 Tokoh Etika : sejak zaman Yunani sampai abad ke-19”. Yogyakarta. Hal 145
[13]. Franz Magnis –Suseno. 1997. “13 Tokoh Etika : sejak zaman Yunani sampai abad ke-19”. (Yogyakarta),146
[14]. S.P. Lili Tjahjadi.Hukum moral. ( Yogyakarta:Kanisius,1991), 49
[15].  S.P. Lili Tjahjadi.Hukum moral. ( Yogyakarta:Kanisius,1991), 50
[16]. Franz Magnis –Suseno. 1997. “13 Tokoh Etika : sejak zaman Yunani sampai abad ke-19”. Yogyakarta. Hal 143-144

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tanda Gereja yang Sejati.

3 Tanda Gereja yang sejati Oleh Nelis Daka Menurut Calvin, seorang reformator mengatakan bahwa di luar gereja tidak ada keselamatan. Menurut...