Kesalehan Ayub
dicobai
Ayub
1:1-5;20-22
Ayub merupakan salah satu tokoh yang
terkenal dalam Alkitab yang berasal dari tanah Us. Tanah Us dalam perikop ini
tidak diketahui secara jelas karena gambaran yang diperoleh hanyalah daerah
sebelah timur. Pada Ayat 15 dan ayat 17, kita dapat menyimpulkan bahwa Us tidak
jauh dari daerah orang-orang Syeba dan orang-orang Kasdim. Menurut Walker C.K. (2004), gaya hidup Ayub yang terwujud
dalam sikap takut akan Allah dapat disamakan dengan gaya hidup Abraham (Kej.
22:12), Yusuf (Kej. 42:18) dan para bidan bagi orang-orang Ibrani yang dalam
belenggu Mesir (Kel. 1:15-17). Ayub adalah
orang saleh, jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Kesalehan Ayub
dalam perikop ini disebutkan sebanyak dua kali, satu kali oleh narator (ayat 1)
dan satu kali oleh Allah (ayat 8). Pengulangan kesalehan Ayub adalah hal
penting. Hal ini menjadi penting karena Ayub menderita karena kesalehannya.
Pada ayat 2-3 kita melihat mengenai apa
yang dimiliki oleh Ayub. Ia mendapatkan tujuh orang anak laki-laki dan tiga orang anak perempuan. Angka tujuh merupakan angka
yang kesempurnaan dan tiga adalah banyak (Robinson, 1876, h. 6). Anak-anak Ayub yang laki-laki sudah memiliki rumah masing-masing.
Mereka mengadakan pesta menurut giliran mereka masing-masing serta mengundang
saudari perempuan mereka untuk makan dan minum bersama. Anak-anak Ayub sangat
hidup harmonis. Selain memiliki
keluarga yang sempurna, ia juga memiliki tujuh ribu
kambing domba, tiga ribu
unta, lima ratus
pasang lembu, lima ratus
keledai betina dan banyak
budak-budak. Domba-dombanya
menyediakan pakaian dan makanan; unta dan keledai menyediakan transportasi; dan
lembu menyediakan makanan dan susu, dan kekuatan untuk membajak (Zuck, 1978, h. 14).
Perikop ini masih memiliki keterkaitan
dengan pasal selanjutnya. Pada pasal satu berbicara mengenai kesalehan Ayub
yang diuji melalui kehilangan harta dan anak-anaknya. Sedangkan pasal dua
berbicara mengenai kesalehan Ayub yang diuji melalui penyakit. Kedua pasal ini
berbicara mengenai kesalehan Ayub yang sedang diuji. Perikop ini memberikan pelajaran
yang sangat menarik yaitu mengapa orang yang saleh dan banyak harta harus
mengalami pencobaan atau penderitaan? Perikop ini memberikan gambaran yang
jelas mengenai kehidupan Ayub, baik kehidupan pribadinya dan juga anak-anaknya.
Ayub mengalami pencobaan yang terjadi dalam satu hari saja (Wilson, 2007, h. 27). Ia
kehilangan semua harta dan anak-anaknya mati. Ayub memberikan respon yang sulit
untuk dipahami oleh manusia pada zaman ini.
Kehidupan Ayub serta
relasinya dengan Anak-anaknya
Pada perikop
ini sangat jelas penekanannya mengenai kesalehan Ayub. Ayub dikenal sebagai
orang yang saleh, jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Kesalehan
Ayub bukanlah hanya cerita semata melainkan benar-benar terjadi menurut kesaksian
penulis (narator) dan dari Allah. Ayub tidak mau melihat anak-anaknya hidup
dalam dosa terlebih mengutuki Allah. Oleh karena itu, Ayub tetap menjaga dan
memelihara hidup yang benar agar tetap diberkati dan dipelihara oleh Allah (Seow, 2013 h. 255). Ayub
mengkhawatirkan anak-anaknya telah berbuat dosa sehingga ia selalu
mempersembahkan korban ketika anak-anaknya selesai membuat pesta. Pengorbanan
dilakukan untuk menguduskan anak-anaknya (Kravitz, L. S.
& Olitzky, K. M., 2017 h. 1). Ia
selalu mempersembahkan korban bakaran untuk penghapusan dosa anak-anaknya.
Sedangkan dalam hal kekayaan, ia memberikan rumah atau kenyamanan bagi
anak-anaknya. Ia memberikan kenyamanan bagi anak-anaknya sekaligus kebebasan
untuk mengadakan pesta menurut giliran masing-masing.
Berbeda halnya pada zaman sekarang ini. Kekayaan
biasanya memberikan dampak buruk dalam hal kehidupan rohani. Orang-orang cenderung
tidak puas dengan apa yang mereka miliki. Kekayaan digunakan untuk hal-hal yang
tidak baik seperti pesta pora (mabuk-mabukan), korupsi, seks bebas bahkan jatuh
dalam narkoba (Daka, 2018). Selain itu, relasi antara orang tua dan anak tidak
baik. Waktu bagi orang tua untuk bersama dengan anak-anaknya sudah berkurang.
Orang tua sudah disibukkan dengan pekerjaan sehingga anak-anak kehilangan role model dalam keluarga mereka
sendiri. Anak-anak butuh orang tua yang selalu menemani mereka dalam segala
keadaan. Oleh karena itu, peran orang tua terutama ayah sangat diperlukan
sebagai kepala keluarga.
Ayub kehilangan kekayaan dan
anak-anaknya
Ayub mengalami penderitaan sebagai ujian dari
kesalehannya. Ujian kesalehan Ayub merupakan ujian yang mendatangkan
kebaikan. Ujian ini bermula ketika Allah
memberitahukan kepada iblis bahwa Ayub merupakan orang paling tersaleh dibumi
(ayat 8). Kata-kata provokatif Yahweh mengarah pada konflik dengan setan dan
kesepakatan bersama mereka untuk menguji Ayub dengan penderitaan (Habel, 1985, h. 27). Iblis berkata bahwa Ayub takut kepada Allah
karena kekayaannya dan Allah menjaganya. Iblis meminta Allah untuk mengambil
kekayaan Ayub untuk menguji ketaatannya dan Allah mengizinkan Ayub dicobai. Pencobaan
Ayub terjadi pada ayat 13-19. Ayub kehilangan harta serta anak-anaknya semua.
Melalui semua ini, terdapat prinsip penting yang dapat diambil dari perikop ini
yaitu penderitaan bukan datang dari Allah. Penderitaan atau hal-hal yang tidak menyenangkan
sudah menjadi bagian karakteristik dari kehidupan dunia ini (Karman, 2009, h.
163). Dalam penderitaan Allah tetap
berdaulat atas hidup kita. Allah tidak merancang sesuatu yang jahat. Apapun
yang terjadi dalam hidup ini tetap berada dalam kedaulatan Allah.
Allah mengizinkan penderitaan
terjadi karena Allah memiliki tujuan. Dengan keterbatasan pikiran manusia,
manusia mencoba memahaminya yang berujung pada kekecewaan. Kecenderungan manusia yang sudah terbiasa
dengan kebaikan dari Allah sangat rentan dalam mengalami masalah. Manusia hanya
menerima hal yang baik dan menolak hal yang buruk. Manusia sudah mulai
menyalahkan Allah atas penderitaan yang terjadi. Hal ini juga tidak menutup
kemungkinan bagi kita yang mengaku taat atau percaya kepada Allah. Sebagai
contoh ada yang bunuh diri (gantung diri) karena banyak masalah atau karena
penyakit tertentu yang sulit diobati (Daka, 2018). Ada juga yang malahan meninggalkan Allah atau
menjadi atheis ketika mengalami masalah yang sangat sulit. Ada juga hamba Tuhan
yang cerai karena keadaan ekonomi seperti di daerah saya.
Respon Ayub ketika menghadapi
pencobaan
Penderitaan Ayub adalah penderitaan
yang hanya diketahui oleh narator, Allah dan iblis. Pencobaan dan
penderitaan-penderitaan tidak hanya disebabkan oleh keadaan hidup,
lingkungan, tindakan orang lain atau kesalahan sendiri di belakang semuanya itu
iblis juga bekerja dan berusaha menjatuhkan orang saleh serta
menghancurkan iman dan kesetiaannya kepada Tuhan (Green,
2004, h. 128). Sebagai manusia
biasa adalah wajar kalau Ayub mengeluh dan menyalahkan Allah. Dalam
ketidaktahuan Ayub atas masalah yang ia alami, Ayub tidak berbuat dosa ketika
meresponi semuanya.
Respon Ayub ketika mendengar semua
peristiwa yang terjadi adalah Ayub berdirilah lalu mengoyak jubahnya, dan
mencukur kepalanya, sebagai tanda perkabungan dan kesedihan yang sangat
mendalam dan berbeda dari kesedihan biasa kemudian sujudlah ia dan menyembah (Zuck, 1978, h. 17). Selain itu,
ia juga berkata: "dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan
telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang
mengambil, terpujilah nama TUHAN!". Ayub menyadari bahwa pada dasarnya ia
tidak memiliki apa-apa. Semua kekayaan dan apapun yang ia miliki merupakan
pemberian Allah. Tidak
semua
orang tahan terhadap penderitaan seperti
yang dialami Ayub, namun kalau kita
mengalami penderitaan kita harus dijalani. Seperti pencobaan
yang dialami oleh Ayub demikian juga dalam hidup kita yang tidak terlepas dari
pencobaan. Banyak hal yang tidak kita pahami terjadi dalam hidup kita. Semua
ini tidak menjadi alasan kita lari dan semakin menjauh dari Allah.
Dari pembahasan di atas, kita dapat
menyimpulkan bahwa:
1.
Kesalehan harus
berdampak bagi orang lain terutama keluarga kita.
2.
Melalui
kesengsaraan dan penderitaan, kesalehan bisa teruji.
3.
Penderitaan
bukan berasal dari Allah.
4.
Dalam hal yang
tidak baik, Allah bisa mengejakan sesuatu yang baik.
Kesalehan bukan hanya sekedar
tontonan yang palsu (topeng) yang sering diperlihatkan oleh orang-orang yang
kelihatan rohani. Banyak orang yang mengaku saleh tetapi tidak sesuai dengan
karakter dan gaya hidup mereka. Bukti
nyata dari kesalehan hidup kita perlu dilihat dan disaksikan oleh orang lain melalui tindakan dan perilaku
sehari-hari. Dibutuhkan kesadaran diri dan kepercayaan penuh kepada Allah atas
rencanaNya dalam hidup ini.
Penderitaan memang menyakitkan
seperti yang dialami Ayub. Namun, penderitaan bukan menjadi alasan kita lari
dan semakin menjauhi Allah. Hal yang kita lakukan adalah percaya kalau Allah
akan menolong. Penderitaan bukanlah hal yang harus ditakuti melainkan sesuatu
hal yang harus kita jalani. Allah sanggup dan memampukan kita untuk menjalani
setiap ujian dalam hidup ini. Kuncinya adalah percaya serta milikilah hubungan
yang erat dengan Allah serta mintalah Allah untuk tetap menolong kita dalam
menghadapi pencobaan. Seperti Ayub mampu menyelesaikan ujian atau pencobaan
dengan tidak berdosa kepada Allah, maukah kita hidup sesuai dengan kehendak
Allah dan berharap hanya kepada Allah saja? Allah memiliki tujuan dalam
hidupmu. Pasti Tuhan akan menolong ketika kita mengalami masalah.
Refrensi
Daka, N. (2018). Contoh-contoh aplikatif.
Green, D. (2004). Pengenalan Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas.
Habel, N. C. (1985). The book of Job: A Commentary. Philadelphia: The Westminster Press.
Karman, Y. (2009). Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.Kravitz, L. S. & Olitzky, K. M. (2017). The Book of Job: a modern translation and commentary. Eugene: Wipf and Stock Publihers.
Robinson,
T. (1876). Homiletical commentary on the
book of Job, Vol 15. London: Richard D. Dicrinson.
Seow, C. L.
(2013). Job
1-2: Interpretation and Commentary. Michigan: Grand Rapids.
Walker, C.K. (2004). Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas.
Wilson,
G. H. (2007). Job (understanding the
bible commentary series. Unite States: Grand Rapids.
Zuck,
R. B. (1978). Job: Everymen’s Bible
Commentary. Chicago: The Moody Bible Institut Press.